16 Mei 2008

Bendera PSP Padang

15 Mei 2008

Mengerti PSP & Paham Peraturan

(Sebuah Catatan Dalam Rangka Berbagi Pengalaman Menjadi Manajer PSP Padang)

Oleh : Indra Dt. Rajo Lelo, SH

Ketika mendengar banyak yang berminat menjadi Manajer PSP, terus terang saya merasa sangat-sangat gembira. Sebab bila itu benar, Alhamdulillah beban berat yang selama ini saya pikul, akan bisa digantikan oleh yang lain. Jujur saja, hal itu juga bukan karena saya tidak cinta lagi kepada PSP. Apalagi dalam kapasitas sebagai pengurus PSP, tugas sebagai Manajer, justru saya lakukan karena rasa tanggung-jawab dan cinta saya pada PSP. Tapi ketika ada yang mau dan lebih mampu, saya pasti akan sangat mendukungnya.

Latar belakang kegembiraan itu pulalah yang membuat saya ingin menulis dan sedikit bercerita dan berbagi pengalaman selama menjadi Manajer PSP Padang khususnya selama empat tahun terakhir. Paling tidak, dengan berbagi pengalaman seperti ini, calon-calon Manajer – yang katanya sekarang banyak muncul – akan tahu dan mengerti bagaimana sebenarnya menjadi Manajer PSP Padang.

Hal pertama yang ingin saya garis bawahi adalah soal PSP Padang. Sudah jadi rahasia umum, bahwa PSP bukanlah tim elit dan kaya raya seperti tim-tim lainnya. Karena itu bagi seorang Manajer PSP, jangan harap akan dapat memenej keuangan tim dengan gampang. Karena memang duit itu betul yang sangat kurang. Justru yang diminta dari seorang Manajer PSP adalah bagaimana ia mengelola dan memenej keuangan tim dengan sehemat mungkin, tapi dengan tuntutan prestasi yang sangat maksimal.

Kedua, masih soal keuangan tim. Tugas Manajer PSP sebagaimana yang saya rasakan selama ini adalah lebih banyak hanya untuk memenej keuangan tim dengan catatan uang itu disediakan atau dicarikan oleh pengurus. Jadi, Manajer Tim PSP tugasnya hanya mengatur penggunaan uang yang disediakan pengurus dan bukan berusaha pula mencari uang. Itu sebabnya ketika beberapa rekan wartawan mempertanyakan soal kenapa dana PSP hanya sebanyak yang disediakan APBD tanpa ada dana lain yang dicarikan Manajer, jawabannya ya seperti yang saya katakan di atas.

Ketiga, dalam hal pelaksanaan pengelolaan keuangan. Yang selama ini terjadi adalah bahwa uang yang disediakan atau diberikan pengurus justru lebih banyak kurangnya daripada berlebih. Itu semua bukan karena pengurus tidak berusaha. Sebab sebagai pengurus saya juga tahu bagaimana tunggang-langgangnya Bapak Yusman Kasim selaku Ketua Umum PSP berusaha mencarikannya. Untung pula ia dibantu Sekum PSP N. Nofi Sastera yang ready kapan dan dimana pun siap dan bisa mempersiapkan semua surat dan bahan-bahan yang diperlukan dalam hal pencarian dana. Tapi yang banyak terjadi pada akhirnya seperti saya katakan di atas, jumlah yang didapat tetap lebih banyak kurangnya daripada berlebih.

Keempat dan ini yang sangat penting untuk dicatat para calon Manajer yaitu saat masih dalam tahap seleksi dan latihan berjalan menjelang tim terbentuk. Prosesnya bisa berlangsung sekitar tiga atau empat bulan. Selama tiga atau empat bulan itu, nyaris tidak ada dana yang disediakan oleh pengurus. Karena pada umumnya pembentukan tim cenderung berlangsung di akhir-akhir tahun. Otomatis, anggaran yang tersedia, jelas belum ada. Karena anggaran sebelumnya baik dari APBD maupun dari ABT di Perubahan APBD, juga sudah tersedot habis untuk tim sebelumnya, bahkan itu pun masih sering kurang.

Sebagai contoh bila kita ingin membentuk tim PSP untuk Divisi Utama tahun 2008 nanti. Jujur saja, PSP saat ini tak punya dana lagi. Benar bahwa PSP mendapat bantuan dari Perubahan APBD Sumbar maupun APBD Kota Padang. Namun dana tambahan dari kedua ABT itu masih belum cukup untuk menutupi kekurangan tim PSP 2007 yang Alhamdulillah telah lolos ke Divisi Utama. Dengan kondisi seperti itu, jelas untuk pelaksanaan seleksi dan latihan berjalan menjelang terbentuknya tim – mungkin selama November 2007 sampai Februari 2008 nanti – PSP tak punya dana untuk kebutuhan selama seleksi dan latihan berjalan itu.

Kesimpulannya, dan inilah yang selama empat tahun ini saya rasakan, sebagai Manajer, saya harus merogoh kantong pribadi bahkan sampai ratusan juta sebelum diganti di bulan Februari atau Maret, saat dana APBD sudah bisa dicairkan.

Kelima soal ikatan kontrak si pemain. Sudah merupakan hal yang wajar bila banyak pemain ingin segera diikat kontrak. Hal itu agar mereka bisa lebih tenang dan tidak repot lagi mencari klub lain. Namun dalam hal ini jika seorang Manajer tidak tahu persis dengan kebutuhan pemain di satu tim, bisa-bisa ia mengontrak pemain yang hanya bagus sesaat. Istilahnya, kita akan tabali lado pagi. Sebab proses seleksi dan latihan berjalan itu lamanya sekitar tiga sampai empat bulan. Bila di bulan pertama saja kita sudah melakukan ikatan kontrak, sementara di bulan-bulan berikut masih banyak pemain yang melamar, bisa-bisa kita akan mengontrak pemain yang hanya punya skill seadanya. Dalam hal ini, kerjasama dengan tim pelatih sangat dibutuhkan. Sebab yang akan memakai pemain di lapangan adalah si pelatih. Oleh karena si pelatih-lah yang lebih tahu kebutuhan pemain untuk timnya. Karena itu sebelum ada persetujuan dari pelatih, sebaiknya jangan melakukan negosiasi apapun dengan si pemain.

Dalam hal mengikat pemain asing, juga ada jurus tersendiri yang harus diketahui oleh seorang Manajer. Seperti yang dikatakan di atas, jangan tergesa-gesa dalam melakukan ikatan kontrak. Karena sebagai orang mempekerjakan si pemain, adalah hak manajamen untuk kapan harus mengikat si pemain dengan kontrak yang pasti. Apalagi, biasanya pemain yang melamar juga banyak. Karena itu sekali lagi jangan tergesa-gesa. Adalah wajib, pemain yang akan dinegokan kontraknya, sudah mendapat rekomendasi atau persetujuan dari pelatih.

Keenam, soal pendaftaran tim. Ini juga membutuhkan kiat-kiat khusus dan juga dukungan hubungan baik dengan pengurus atau petugas pendaftaran di BLI maupun PSSI. Lebih-lebih soal pemain asing. Banyak syarat dan ketentuan yang diperlukan. Termasuk dalam melakukan nego dengan agennya. Ini juga dibutuhkan kiat-kiat tersendiri. Sebab bila tidak begitu, bisa terjadi kita membeli pemain terlalu mahal. Sementara dengan kondisi keuangan PSP yang serba minim, apakah itu mungkin?

Di sisi lain, keahlian atau pengetahuan dari seorang Sekretaris Tim dalam hal peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam hal kontrak dan pendaftaran pemain juga sangat dituntut. Dalam hal peraturan misalnya, salah-salah pendaftaran pemain yang kita lakukan terpaksa harus berulang-ulang ke BLI. Jika itu terjadi, berapa biayanya? Dalam membuat klausul kontrak juga begitu. Harus sangat dipahami hak dan kewajiban si pemain, disamping hak dan kewajiban kita sebagai owner atau pemilik klub. Jika salah menuliskan klausul kontrak, bisa-bisa tim yang dirugikan.

Beberapa hal di atas, baru sebagian dari kiat-kiat yang harus diketahui seorang Manajer Tim. Masih banyak hal lain yang cukup panjang bila dituliskan semuanya. Terutama soal keuangan tadi. Jika tidak pandai-pandai memenej keuangan, bisa-bisa biaya tim jadi membengkak. Begitu juga dalam hal mencapai prestasi tim. Jika tidak tahu bagaimana kiatnya, meski tim sudah bagus, jangan harap bisa jadi juara.

Terlepas dari itu, jika memang banyak yang berminat jadi Manajer PSP, saya secara pribadi tentu akan mendukung. Namun sebelum berpikir untuk jadi Manajer PSP, saya juga ingin mengingatkan untuk berpikirlah secara lebih jernih. Karena seperti yang saya alami, khususnya seusai Kompetisi Divisi I tahun 2007 ini. Meski sudah berhasil meloloskan PSP ke Divisi Utama dengan dana yang sangat minim, jangankan pujian dan terima kasih yang didapat, namun justru umpatan dan caci maki yang diterima. Mungkin benar bahwa memang begitulah dunia. Namun hal ini pulalah yang perlu saya ingatkan lewat tulisan ini. Sebab bila tidak kuat mental, bisa-bisa kita akan terlibat polemik di media massa, atau bahkan lebih buruk dari itu.

Nah, bagi para calon Manajer PSP yang baru. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk Anda jadikan pegangan. Dan semoga pula, di tangan Anda, prestasi PSP Padang akan lebih baik lagi. Saya pribadi tentu akan kecewa, bila nanti PSP jatuh lagi ke Divisi I. Untuk itu, pahamilah dulu kondisi di PSP, dan juga berusahalah untuk mengerti dengan semua ketentuan dan peraturan yang berlaku. Jika itu sudah oke, silahkan maju jadi Manajer PSP. Salam.

(Indra Dt. Rajo Lelo, SH adalah Mantan Manajer PSP Padang selama Empat Periode sejak masih di Divisi III sampai meloloskan PSP ke Divisi Utama PSSI)

PSP – From Zero to Hero

Oleh : DRS. H. YUSMAN KASIM

Alhamdulillah, keinginan warga pencinta bola kota Padang akhirnya terwujudkan. PSP Padang kembali masuk Divisi Utama. Kepastian itu diperoleh setelah PSP menang 2-1 atas PSKPS Padang Sidempuan dan akhirnya dilengkapi dengan kemenangan terakhir 1-0 atas tim negeri tetangga, PSPS Pekanbaru. Tim PSP Padang akhirnya mengemas nilai 34, tertinggi dari 9 peserta (dulunya 10 tim termasuk Medan Jaya yang mengundurkan diri) pada grup I Kompetisi Divisi I tahun ini.

Terlepas dari tim PSP yang saat ini masih terus berjuang memperebutkan gelar juara Kompetisi Divisi I tahun 2007 di Solo, apa yang telah diperoleh PSP saat ini tentu sangat menggembirakan khususnya bagi pengurus PSP periode 2004-2008. Prediksi awal Tim Penyusunan Program Kerja PSP yang dipimpin Sekum PSP Saudara Nofi Sastera ternyata tepat dan sesuai dengan target.

Benar bahwa tahun 2006 lalu kita sebenarnya sudah punya peluang untuk lolos ke Divisi Utama sebagaimana yang diharapkan. Namun pencapaian tahun ini tentu memiliki nilai yang lebih baik lagi. Paling tidak berkaca pada prestasi dua tim promosi tahun lalu PSSB Bireuen dan Persiraja Bandaaceh, yang nasibnya saat ini menyedihkan karena berpeluang besar kembali jatuh ke Divisi I. Sinyal yang dapat kita tangkap dari nasib PSSB Bireuen dan Persiraja Bandaaceh ini adalah jangan tergesa-gesa bila tidak pasti sejauh mana kesiapan kita untuk berada di Divisi Utama itu.

Kembali kepada PSP Padang. Bila boleh jujur, keberhasilan PSP lolos ke Divisi Utama tahun depan adalah merupakan buah dari perjuangan yang sangat minim dukungan dana, kalau tak boleh disebut tidak ada sama sekali. Pasalnya sejak pertama kali pengurus PSP periode 2004-2008 memulai tugasnya, tim PSP saat itu justru berada di kelompok Divisi III, yang merupakan kompetisi antar klub atau perserikatan di lingkungan Pengda PSSI Sumatera Barat. Sesuai istilah yang sering disebut banyak orang, bermain di kompetisi tarkam bagi tim sekelas PSP Padang yang punya nama dan sejarah panjang di sepakbola, jelas takkan bisa memancing minat orang untuk membantu PSP.

Tahun berikutnya, saat PSP sudah masuk Divisi II Nasional, kondisi yang sama juga harus dialami. Yaitu kurangnya perhatian orang tak hanya untuk membantu dana bahkan menonton pertandingan PSP sekali pun. Tahun berikutnya saat PSP sudah masuk Divisi I setelah menjadi Juara III Divisi II di Kudus, kondisi serupa masih tak berapa jauh berbeda. Tak heran bila di tahun 2007, saat PSP masih bertahan di Divisi I, tim PSP tetap tercatat sebagai tim yang sangat kecil sekali dukungannya, termasuk dukungan dana dari APBD.

Di luar bantuan dari Perubahan APBD yang saat ini dalam proses, total bantuan yang didapat PSP Padang dari APBD hanya Rp 2,75 Milyar dengan rincian Rp 2,5 M dari APBD kota Padang dan Rp 250 Jt dari APBD Provinsi Sumatera Barat. Bandingkan jumlah Rp 2,75 M tersebut dengan dana yang disediakan APBD tim daerah lain seperti PSAP Sigli Rp 14 M, Persih Tembilahan Rp 13 M, PSPS Pekanbaru Rp 11 M dan umumnya tim peserta grup I Divisi I yang rata-rata di atas Rp 7 M.

Dengan dana sebesar itu benar seperti ditulis Sekum PSP Padang N. Nofi Sastera di sebuah koran lokal Padang beberapa hari lalu, PSP akhirnya terpaksa hutang sana hutang sini. Tak hanya itu, saya sebagai Ketua Umum juga harus tunggang langgang lobi sana sini mencarikan dana untuk tim PSP. Selain itu tak terhitung pula banyaknya uang pribadi Ketua Harian sekaligus Manajer PSP Sdr. Indra Dt. Rajo Lelo harus terbenam dulu untuk mengatasi kekurangan biaya yang dialami PSP.

Dengan dukungan pendanaan yang sangat minim itu pula sebabnya, saya lebih cenderung menyebut tim PSP Padang beranjak dari sebuah kekosongan alias zero. Namun berkat kemauan, kerja keras dan kerjasama antara unsur pengurus dan manajemen tim serta dukungan Pemda Kota dan Pemda Provinsi serta berbagai pihak lain termasuk pers dan fans klub, Alhamdulillah tim PSP bisa mencapai impiannya. PSP Padang lolos ke Divisi Utama tahun 2008.

Dengan kondisi pendanaan seperti itu, agaknya tak salah bila saya kadang sempat melontarkan istilah bahwa perjuangan tim PSP Padang itu seperti istilah from zero to hero alias dari nol menjadi perkasa, atau dari kekosongan menjadi seorang pahlawan. Ya, PSP Padang memang layak disebut saat ini sebagai Pahlawan Kota Padang, apalagi dengan keberhasilan yang dicapai juga didapat pada saat Padang sedang merayakan HUT yang ke 338.

Catatan yang harus digaris-bawahi dari kondisi ini adalah apakah PSP akan seterusnya dengan kondisi from zero to hero ini, atau tidak. Jawabannya tentu kita pulangkan kepada pemilik PSP Padang yakni Pemda Kota Padang, Pemda Provinsi Sumatera Barat dan masyarakat secara umum. Sebagai pilihannya, bila PSP punya dukungan lebih baik, Insya Allah, prestasi atau sekurangnya bertahan di Divisi Utama akan bisa diraih. Tapi kalau kita terus berharap dengan from zero to hero nasib PSP Padang di Divisi Utama jelas tak bisa dipertanggung-jawabkan.

Lantas, masihkah kita akan bertahan dengan kondisi atau prinsip from zero to hero itu?

PSP dan Bupati Bantul

Menarik membaca pernyataan Bupati Bantul Idham Samawi di salah satu koran Sumbar Sabtu (01/9) lalu pasca lolosnya Persiba Bantul ke Divisi Utama tahun depan. Pasalnya Bupati Idham Samawi langsung menganggarkan Rp 6 Milyar untuk Persiba dari APBD Kabupaten Bantul sebagai modal Persiba untuk berlaga di Divisi Utama tahun depan.

Penganggaran dana sebesar itu menurut Bupati Idham meski diakui belum mencukupi semua kebutuhan tim Persiba di Divisi Utama nanti, namun paling tidak bisa menjadi stimulan pemancing dana atau bantuan lain yang berasal dari berbagai sumber seperti sponsor dan sumbangan lain yang tidak mengikat.

“Bagaimana pun kita tentu tak ingin Persiba hanya sekedar numpang lewat di Divisi Utama. Karena itu, sebagai modal awal, kita anggarkan dulu sebanyak itu,” ujar Idham.

Apa yang disampaikan Bupati dari daerah yang bersebelahan dengan kota Yogyakarta itu tentu saja menarik untuk dicermati bila dikorelasikan dengan lolosnya tim kesayangan warga kota Padang PSP Padang ke Divisi Utama tahun depan. Menariknya karena ada sedikit perbedaan yang kiranya patut dicermati. Tujuannya tentu saja bisa menjadi motivasi bagi kita dalam mengambil sikap bagi para pengambil kebijakan terhadap kelanjutan nasib PSP Padang.

Pertama, Bantul hanyalah sebuah kota kabupaten yang tak sama dengan Padang yang ibukota provinsi. Kedua Persiba Bantul lolos ke Divisi Utama dengan status runer-up grup III Divisi I di bawah Persibo Bojonegoro yang akan jadi lawan PSP Padang putaran final Divisi I tanggal 7 dan 10 September nanti di Solo. Artinya, secara kualitas tim, bisa dikatakan, PSP sedikit lebih unggul ketimbang Persiba Bantul. Pertanyaannya sekarang, bila Bantul yang dengan status dan kualitas sedikit di bawah Padang saja sudah demikian besar perhatian dari Bupati-nya, bagaimana dengan Padang?

Minimal Rp 10-15 Milyar

Tanpa bermaksud mendikte siapa-siapa, apa yang disampaikan Bupati Bantul Idham Samawi pantas jadi contoh bagi kita di Padang untuk mengambil sikap guna kelanjutan prestasi PSP. Sebab dari prakiraan kasar, minimal dibutuhkan dana sebesar Rp 10-15 Milyar agar PSP bisa eksis di Divisi Utama PSSI.

Benar ada wacana yang muncul bahwa pengelolaan tim PSP Padang akan diserahkan kepada Bapak Gubernur atau Pemda Sumatera Barat. Namun kalau pun itu terwujud, bukan berarti Pemda Kota Padang bisa lepas tangan dalam hal ini. Sebab secara moral, PSP adalah milik Kota Padang. Karena itu Pemda Padang tak boleh membiarkan atau lepas tangan begitu saja atau pun menyerahkan pengelolaan PSP kepada pihak lain. Justru sebaliknya Pemda Padang-lah yang harus pertama sekali bertanggung-jawab terhadap nasib dan prestasi PSP Padang.

Kembali kepada perbedaan antara Bantul dan Padang sebagaimana yang disebutkan di atas, rasanya tak salah bila Padang juga harus berkaca kepada Bantul. Paling tidak, dari sekarang-sekarang sudah harus ada pernyataan dari petinggi kota Padang tentang berapa dana yang dianggarkan APBD Padang untuk PSP. Supaya ke depan pengelolaan tim PSP dapat dilakukan dengan lancar, aman dan tidak hutang sana sini lagi.

Bagaimana pun sungguh tidak wajar bila nasib PSP hanya menjadi pikiran sekelompok orang saja seperti pengurus atau manajemen tim. Pikiran dan dukungan Pemda Kota dan Pemda Provinsi tentu akan lebih memiliki nilai yang sangat berarti bagi PSP Padang.

Atau, akan kalah pulakah kita dengan Bantul?

14 Mei 2008

PSP Pasca Lolos ke Divisi Utama

Oleh : N. Nofi Sastera*

Alhamdulillah, penantian panjang warga Padang pencinta sepakbola akhirnya terwujudkan. PSP Padang kembali ke Divisi Utama. Seperti diistilahkan harian Singgalang, PSP pulang kembali ke rumahnya. Tak berlebihan memang. Divisi Utama adalah tempat yang pantas untuk PSP yang saat ini sudah berusia 79, sejak dilahirkan tahun 1928 lalu dengan nama PVC (Padang Voeteball Club).

Sebagai sebuah tim perserikatan yang sudah sangat senior, PSP memang sejajar dengan Persija Jakarta, PSMS Medan, Persebaya Surabaya, Persib Bandung dan PSM Makasar. Dari catatan sejarah, PSP bersama ke lima tim perserikatan di atas, dulunya pernah disebut sebagai Enam Jawara Perserikatan Sepakbola Indonesia. Itu pula sebabnya PSP dulunya paling sering mendapat kehormatan dikunjungi tim-tim besar dari luar negeri seperti Lokomotiv Moscow Rusia, Red Stars Belgrade Yugoslavia, Sao Paolo Brazil dan Middlesex Wanderrers Inggris.

Dari tim ini pula pernah lahir pemain sekaliber Arifin yang pernah memperkuat Indonesia pada putaran final Piala Dunia 1938 meskipun dengan bendera NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie). Dari tim ini pula pernah lahir pemain sekaliber Oyong Liza, Ishak Liza dan Suhatman Imam yang pernah nyaris meloloskan Indonesia ke Olympiade 1976, jika saja pada saat itu eksekusi terakhir dari Anjasmara berhasil mencetak gol ke gawang Korea Utara yang dikawal kiper An Se Uk.

Gali Lobang Tutup Lobang

Kembali ke tim PSP 2007. Keberhasilan tahun ini, setelah menunggu selama enam tahun sejak degradasi tahun 2001 lalu, tentu terasa sangat menyejukkan. Terutama bagi pengurus PSP periode 2004-2008 yang sejak awal mencanangkan membawa PSP kembali ke Divisi Utama. Seperti tertuang pada Buku Program Kerja Empat Tahun Pengurus PSP periode 2004-2008, maksimal PSP ditargetkan lolos ke Divisi Utama tahun 2008. Alhamdulillah, target itu tercapai, persis sebagaimana yang dirancang sejak awal.

Kepuasan ini tentu saja sangat beralasan. Sebab bila diingat bagaimana di awal-awal kepengurusan ini berjalan, PSP harus terseok-seok di Divisi III PSSI Sumbar. Akibatnya PSP harus berkompetisi dulu dengan tim-tim Sumbar lainnya. Saya pribadi masih ingat bagaimana saya harus mengalami mabuk darat (saya memang tak kuat jalan darat terlalu jauh) untuk melihat tim PSP bertanding di Lapangan Gumarang Batusangkar dan terakhir final melawan PSKB Bukittinggi di Stadion Batutupang Solok.

Saya juga sangat hafal bagaimana pusingnya pengurus harus gali lobang tutup lobang mengatasi persoalanan pendanaan untuk tim PSP. Selain Ketua Umum PSP Yusman Kasim yang harus tunggang langgang melakukan lobi demi lobi serta berjuang di DPRD untuk meloloskan anggaran PSP, Saudara Indra Dt. Rajo Lelo, Manajer Tim PSP yang sukses selama empat periode kompetisi (sejak Divisi III sampai lolos ke Divisi Utama tahun ini) adalah orang yang menurut saya paling marasai dalam mengelola tim PSP. Sebab tak terhitung lagi kalinya ia harus rela manumbok kekurangan dana PSP dengan dana pribadinya sebelum akhirnya diganti oleh pengurus. Bahkan sejumlah uangnya sampai saat ini terpaksa harus direlakannya tak kembali. Semuanya tentu hanya demi PSP Padang, tanpa pamrih apa pun.

Sekarang, PSP sudah kembali ke Divisi Utama. Akankah kebiasaan tumbok-manumbok, hutang sana hutang sini atau pontang-panting mencari dana untuk mengelola tim PSP ini masih akan berulang? Masih akan adakah keluhan miris dari Saudara Indra Dt. Rajo Lelo yang kadang sudah hampir angkat tangan mencari panumbok biaya PSP karena selain capek mencari panumbok biaya ia juga banyak dicerca masyarakat pencinta yang mungkin menganggap PSP punya banyak uang sehingga Manajer hanya tinggal mengeruk uang itu untuk mengelola tim PSP ini.

Di bagian lain, berkaca kepada pengalaman dan berkaca kepada nasib Persiraja saat ini, kita semua tentu juga tak ingin PSP hanya sekedar numpang lewat di Divisi Utama. Meski secara finansial dan prasarana pendukung PSP juga belum cocok ke Liga Super, namun setidaknya PSP harus eksis dan bertahan di Divisi Utama. Sebab PSP-lah satu-satunya tim asal perserikatan di Sumbar yang ada di Divisi Utama.

Gerak Cepat

Untuk itu menurut saya, PSP haruslah bergerak cepat dari sekarang-sekarang. Yang terpenting tentu saja soal pendanaan PSP di Divisi Utama nanti. Apalagi di tahun 2008 Padang juga akan disibukkan dengan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Sebagaimana yang sudah saya rasakan sejak jadi Sekretaris Tim PSP mulai tahun 1996 lalu, kegiatan Pilkada sering sangat menyita perhatian sehingga pengelolaan pendanaan PSP sering terabaikan. Sebut saja seperti Pilkada tahun 1997, dimana Suhatman Imam sebagai pelatih kepala saat itu mundur dari tim karena gaji pemain PSP sudah tiga bulan tidak dibayarkan. Pada Pilkada tahun 2003 juga begitu. PSP saat itu bahkan jatuh ke Divisi III, divisi terbawah dari sistem persepakbolaan nasional.

Seperti sudah sama-sama diketahui pendanaan Divisi I tentu tidak sama dengan Divisi Utama. Selain peningkatan kualitas pemain yang diiringi peningkatan gaji dan kontrak pemain, biaya pertandingan kandang dan tandang serta biaya akomodasi dan konsumsi juga otomatis berbeda dengan saat di Divisi I. Bila kini PSP sudah menghabiskan biaya sekitar kurang lebih Rp 4,5 M meski dari APBD 2007 hanya Rp 2,75 M (Rp 2,5 M dari APBD Padang dan Rp 250 Jt dari APBD Provinsi), tentu bisa diperkirakan sekurang-kurangnya PSP butuh sekitar Rp 5 – 5,5 M untuk menyelesaikan kompetisi Divisi I tahun ini.

Berkaca kepada tim-tim perserikatakan kecil yang timnya berada di Divisi Utama saat ini seperti PSDS Deliserdang, paling kurang PSP butuh biaya sebesar Rp 9 – 10 M bila berlaga di Divisi Utama. Jumlah ini tentu saja bila PSP hanya pasang target bertahan. Tapi jika ingin mentargetkan juara, tentu jumlah sebegitu tak ada artinya. Lihat saja Persija yang sudah menganggarkan Rp 25 M atau PSMS dan Persebaya yang menganggarkan sekitar Rp 20 M. Prestasi tim-tim itu pun juga belum otomatis juara.

Benar seperti istilah yang sering disebut-sebut Walikota Padang Fauzi Bahar bahwa logistik tidak akan pernah memenangkan perang, tapi tanpa logistik jangan harap bisa memenangkan perang. Itu artinya bahwa meski uang banyak bukanlah jaminan untuk bisa juara, tapi tanpa uang juga jangan berharap untuk jadi juara. Sisi inilah yang perlu menjadi pemikiran kita bersama.

Memang sudah pernah ada beberapa wacana seperti penggabungan PSP Padang dengan Semen Padang atau pengelolaan PSP diserahkan ke Pemda Sumbar. Namun tentunya ini diharapkan tidak hanya jadi sebatas wacana. Hendaknya hal itu harus diwujudkan menjadi kenyataan. Dalam arti kata harus ada langkah konkrit yang bisa menjadi jaminan agar PSP bisa eksis di Divisi Utama.

Muara dari semua itu tentu kita pulangkan kepada masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk memikirkan hal. Sebab ketika semua masyarakat menginginkan kebanggaan harus ada tim dari Sumbar yang berada di Divisi Utama, Insya Allah PSP kini telah bisa mewujudkannya. Kini, ketika kebanggaan itu telah terwujudkan, tentu tanggungjawab kita pula untuk menjaga kebanggaan itu.

Seperti sering dikatakan Ketua Umum PSP Yusman Kasim bahwa pemilik PSP adalah masyarakat dan pemerintah daerah, sedang pengurus hanya pihak yang diberi kepercayaan untuk mengelola. Karena itu mungkin kini saatnya kita sama- sama tunjukkan tanggungjawab kita sebagai pemilik (owner) tim PSP ini. Harapannya tentu saja agar PSP bisa berprestasi dan tak hanya sekedar numpang lewat di Divisi Utama.

Siapkah Owner?

(* - Penulis adalah Sekretaris Umum PSP Padang)

Dilematika PSP

Oleh : N. NOFI SASTERA

Sejak zaman katumba bagaimana masalah PSP, saya pikir semua orang mungkin sudah tahu. Ya, dana adalah persoalan klasik yang selalu menerpa tim yang katanya kebanggaan masyarakat Padang dan Sumatera Barat ini. Sebab tak terhitung kalinya, masalah tim PSP dengan dananya yang seret, selalu muncul dan menjadi cerita hangat di koran-koran..

Tanpa bermaksud mencari pembenaran bahwa persoalan dana itu membolehkan PSP melalaikan kewajibannya terhadap tim PSP, namun kondisi itu memang tak bisa dielakkan. Sebagai contoh di tim PSP tahun 2007 ini. Saya tak mengelak bila masih banyak kewajiban PSP yang belum dibayar baik pada pemain, pelatih maupun pada beberapa rekanan yang telah membantu misalnya dalam hal konsumsi dan akomodasi tim. Saya pun tak menyalahkan bila beberapa di antaranya bahkan sempat mengejar-ngejar meminta hutang. Di sisi lain banyaknya ”nyanyian sumbang” tentang PSP di media massa, menurut saya juga tak bisa disalahkan. Karena memang begitulah keadaannya.

Namun haruskah sisi ini saja yang ditonjolkan? Benarkah semua ini hanya tanggung-jawab Manajemen Tim PSP? Rasanya pasti tidak begitu. Masalah dasarnya, tentu saja terletak pada kurangnya dana yang dimiliki PSP untuk berlaga di kompetisi ini. Manajemen Tim juga tak dibekali pitih balungguak untuk mengelola tim ini. Akibat itu pula, wajar bila hutang PSP muncul di sana-sini. Juga janji bisuak ke beko, tak heran terpaksa harus ditebar untuk mengatasi persoalan yang muncul menjelang didapatnya uang pinjaman baru.

Jujur saja, dengan modal hanya + Rp 3 M (Rp 2,5 M dari Pemda Kota Padang dan Rp 250 Jt dari Pemda Provinsi dan + Rp 250 Jt dari sumber lain) jelas ini takkan bisa mengatasi semua kebutuhan PSP. Bandingkan dengan modal yang dimiliki PSAP Sigli yang Rp 14 M, Persih Tembilahan Rp 13 M, PSPS Pekanbaru Rp 10 M. Atau coba juga bandingan dengan PS. Palembang yang dimodali Rp 7 M, namun tetap terkena degradasi.

Semula saya sempat berpikir, dengan berhasilnya PSP lolos ke Divisi Utama sesuai tuntutan masyarakat pada umumnya, maka persoalan PSP akan mudah diselesaikan. Paling tidak, dengan apa yang diidam-idamkan sudah tercapai, maka menurut saya akan ada simpati banyak pihak yang akan membantu PSP. Saya bahkan sempat berandai-andai, bahwa di APBD Perubahan yang sekarang sedang diproses di DPRD Provinsi maupun DPRD Kota Padang akan didapat bantuan keuangan untuk PSP dengan angka-angka yang lumayan sehingga semua hutang PSP bisa terbayarkan. Saya juga bermimpi ada sejumlah pengusaha daerah ini yang secara spontan turun-tangan membantu pendanaan PSP.

Tapi agaknya saya bermimpi. Kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Orang lebih suka melihat dan membicarakan tentang pemain PSP yang belum menerima gaji, atau sejumlah orang yang meminta piutangnya kepada PSP. Bahkan di sebuah media nasional, sejumlah perantau malah bilang untuk apa PSP lolos ke Divisi Utama kalau akibatnya pemain ditelantarkan. Selain itu, manajemen tim PSP yang dikatakan tak profesional dianggap jadi kambing hitam persoalan ini.

Saya tentu saja sedih dengan hal ini. Sudahlah mimpi saya belum terwujud, yang didapatkan justru cercaan. Tuduhan yang dialamatkan kepada Manajemen PSP yang dikatakan tidak profesional saya anggap justru terlalu berlebihan. Sebab jika bicara profesional, lantas itu profesional yang bagaimana? Toh Manajer Tim ini tidak digaji dan tidak disediakan uang yang pasti dalam mengelola tim ini. Justru uang Manajer yang terbenam. Lalu soal menelantarkan pemain? Saya yang ikut mendampingi tim ke Semifinal Divisi I di Solo bisa menegaskan bahwa PSP tak pernah menelantarkan pemainnya. Kalau pun tim PSP pulang ke Jakarta dari Solo dengan kereta api eksekutif bukan karena tak mau dengan pesawat. Tapi justru karena memang tak ada tiket akibatnya padatnya jadual penerbangan karena mau masuk puasa.

Lantas inikah yang dikatakan pemain PSP ditelantarkan? Lalu karena inikah maka manajamen tim PSP dikatakan tidak profesional? Masya Allah! Sungguh picik cara berpikir seperti itu. Sebab tanpa pernah mendalami masalah yang dialami PSP Padang, kemudian bicara seenaknya menuding pihak yang sudah bekerja keras dan berkorban begitu banyak dengan tuduhan tidak profesional atau pun tuduhan lain. Subhanallah. Semoga Allah memaafkan dosa mereka.

Bila dirunut ke belakang, jujur saja, Sdr. Indra dan saya tak pernah meminta untuk menjadi Manajer dan Sekretaris Tim PSP 2007 ini. Namun karena tak ada yang mau, maka atas nama tanggungjawab sebagai pengurus PSP, akhirnya kami pun bersedia. Karena tanggung-jawab itu pula kami sebagai Manajemen Tim berusaha dengan segala macam upaya agar PSP bisa lolos ke Divisi Utama. Sdr. Indra bahkan harus rela uangnya terbenam sekitar Rp 400 Jt sampai saat ini untuk menalangi kekurangan yang dialami tim PSP.

Ketua Umum PSP Bapak Yusman Kasim pun juga terpaksa tunggang langgang lobi sana sini mencarikan pinjaman. Nah, ketika semua peluru habis, dan pinjaman yang diharapkan juga tidak dapat, tentu saja banyak hutang yang belum terselesaikan. Lalu, apakah dengan kondisi ini maka kemudian kita harus frustasi dan harus mempertanyakan untuk apa PSP ke Divisi Utama? Sungguh sebuah pertanyaan yang sangat bodoh.

Tapi, saya pikir, inilah dilematika PSP Padang, yang tidak hanya kini, tapi juga dialami tim-tim PSP sebelumnya. Di satu sisi banyak yang menuntut agar PSP harus ke Divisi Utama karena memang di sinilah rumah PSP yang sebenarnya. Tapi di sisi lain, ketika tuntutan itu sudah terpenuhi dan PSP lolos ke Divisi Utama, justru bukan pujian atau dukungan yang didapat. Tapi sebaliknya tudingan, tuduhan dan cercaan yang diterima.

Namun ya, sudahlah . Karena memang begitulah dilematika PSP Padang. Saya justru lebih senang berpikir ke depan tentang bagaimana tim PSP di Divisi Utama tahun depan. Soal siapa yang akan menjadi Manajemen Tim saya rasa bukan masalah utama. Sebab sebagaimana halnya saya, Sdr. Indra Dt. Rajo Lelo juga sudah jauh-jauh hari siap untuk lengser dari Manajemen Tim PSP. Bahkan sejak awal perjalanan Tim PSP 2007 ini, Sdr. Indra juga sudah bersedia menyerahkan jabatan Manajer Tim PSP kepada siapa saja yang berminat dan mampu memegangnya. Namun karena tak ada yang berani tampil – mungkin karena kebiasaan hanya berani ngomong di belakang tanpa pernah berani tampil ke depan – maka sampai habis kompetisi, tetap saja Sdr. Indra yang menjadi Manajer. Meski untuk itu Sdr. Indra harus sabar karena uangnya terbenam sampai sekitar Rp 400 Jt serta karena banyaknya tuduhan akibatnya si penuding tidak mengerti dengan kondisi PSP.

Akhirnya menurut saya, saat ini bukanlah waktunya untuk mencari ini salah siapa. Tapi yang terbaik adalah mari sama-sama carikan solusi untuk mengatasi persoalan PSP. Jika sekarang PSP sudah lolos ke Divisi Utama, mari sama-sama kita pikirkan bagaimana agar PSP bisa eksis dan terus berbicara di persepakbolaan nasional, yang ujung-ujungnya akan mengharumkan nama kota Padang dan Sumatera Barat pada umumnya. Demikian saja. Marhaban ya Ramadhan. Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga kita semua mendapat berkah taqwa dari Allah Yang Maka Kuasa. Aminn. (Penulis adalah Sekretaris Umum / Sekretaris Tim PSP Padang 2007)


Drs. H. Yusman Kasim dan PSP Padang

Tangan Dingin ‘Sang Ketua

Sejak lama, sosok Drs. H. Yusman Kasim dikenal sebagai figur sepakbola yang bertangan dingin. Maksudnyanya, lakek-tangan Yusman Kasim di sepakbola cenderung menghasilkan prestasi yang lumayan bagus. Dari dua kali periode memegang jabatan di tim sepakbola kebanggaan kota Padang itu, hasilnya selalu saja prestasi dan prestasi.

Pada periode 1994-1998 misalnya. Tercatat, Yusman yang saat itu menjabat Ketua Harian PSP, berhasil mengantarkan Tim Pandeka Minang ini lolos ke Divisi Utama setelah menjadi juara Kompetisi Divisi I PSSI. Namun di tahun 2001, saat Yusman Kasim tidak lagi menjadi pengurus, PSP kembali jatuh. Kali ini bahkan sempat lebih parah, yakni ke divisi II Daerah yang merupakan divisi terbawah di lingkungan PSSI saat itu. Bisa diduga, betapa menyakitkan nasib PSP saat itu. Saat mana, PSP harus kembali main dari ‘tarkam’ alias kampung ke kampung melawan tim-tim perserikatan lain dari seluruh Sumatera Barat.

Namun Yusman agaknya memang ditakdirkan untuk harus terus membina PSP Padang. Terbukti, setahun setelah diangkat menjadi Wakil Walikota Padang Yusman kembali dipilih jadi pengurus PSP Padang. Bedanya, kali ini tidak lagi Ketua Harian, tapi menjadi Ketua Umum. Pada pengurus PSP periode 2004-2008 ini, ia secara khusus dibantu Sekretaris Umum N. Nofi Sastera, mantan Sekretaris Eksekutif PSP saat Yusman menjadi Ketua Harian, serta Ir. H. Havizal Rahman, seorang pebisnis low profile yang juga Pimpinan PT. Askrida Cabang Padang.

Dan seperti sudah diduga, lakek tangan dingin Yusman Kasim kembali terbukti. Meski saat mulai menjabat Ketua Umum, PSP masih tertatih di Kompetisi Divisi II Daerah, namun dua tahun kemudian PSP sudah berada di Kompetisi Divisi I PSSI. Di antaranya lolos ke Divisi II Nasional di akhir tahun 2004, dan lolos ke Divisi I Nasional pada pertengahan tahun 2005 dengan sebelumnya keluar sebagai juara III Kompetisi Divisi II Nasional di Kudus, Jawa Tengah.

“Obsesi kita mengantarkan PSP kembali ke Divisi Utama. Targetnya memang di akhir kepengurusan ini yakni di tahun 2008. Tapi kalau memang bisa lebih cepat, kenapa tidak kita lakukan?” ujar Yusman suatu saat.

Kini, obsesi Yusman mulai terbukti. Perlahan namun pasti, PSP kini telah masuk Divisi Utama. Tentu saja perjuangan masih belum berakhir. Lakek tangan dingin ‘Sang Ketua’ tentu akan selalu dan terus diharapkan. Tidak hanya untuk sampai di Divisi Utama semata, tapi juga untuk membangun persepakbolaan kota Padang khususnya, Sumatera Barat dan Nasional pada umumnya. Setidaknya, seperti juga obsesi Yusman yang lain yakni membuat industri sepakbola dengan mendirikan Puslat Sepakbola.

“Bagaimana pun saya termasuk yang kurang suka dengan menjamurnya pemakaian pemain asing di Liga Indonesia. Ini jelas pembodohan bagi pemain nasional. Karena itu sudah saatnya kita yang memproduksi pemain-pemain hebat, melebihi kualitas pemain asing yang ada. Sehingga, tekad PSSI menuju pentas dunia bisa dicapai. Caranya, selain dengan mencetak pemain-pemain bagus dan berbakat lewat Puslat Sepakbola, juga dengan menghambat bertebarannya pemain asing di Indonesia. Memang ini tidak gampang karena butuh police yang jelas dari PSSI. Tapi kalau kita semua mau, kenapa tidak bisa,” ujarnya.

12 Mei 2008

Tinjau Ulang Izin Pemain Asing di Indonesia

Sebuah Solusi Pembangunan

Sepakbola Indonesia ke Depan

Oleh : Drs. H. Yusman Kasim

Pembangunan sepakbola Indonesia pada dasarnya bermuara kepada terciptanya prestasi tim sepakbola Indonesia yang bisa dibanggakan ke tingkat internasional. Untuk itu PSSI sebagai induk cabang sepakbola di Indonesia sudah berusaha melaksanakan berbagai usaha guna mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan sepakbola Indonesia itu. Tapi sejauh ini, apa yang diharapkan masih jauh dari harapan.

Tidak seperti beberapa negara Asia lain semisal Jepang, Korea dan China, sepakbola Indonesia jangankan berpikir ikut Piala Dunia, untuk juara Asia, bahkan Asean pun sulit. Terbukti, selama dua dasawarsa terakhir nama Indonesia tak pernah lagi berkibar di Asia. Di Asia Tenggara, kita juga sudah sering kalah oleh negara-negara kecil seperti Singapura, Myanmar bahkan Vietnam.

Padahal kita tahu, titik mulai pembangunan sepakbola kita, tak jauh beda dengan Jepang, Korea atau China. Bahkan bila dibanding Myanmar atau pun Vietnam, kita malah jauh lebih dahulu lagi. Tapi kenyataan sekarang, prestasi kita jauh tertinggal dari Jepang, Korea dan China. Bahkan di beberapa iven tingkat Asean seperti SEA Games atau Piala Tiger, kita justru sudah sering dikalahkan negara kecil seperti Singapura, Myanmar dan Vietnam.

Dari sisi penciptaan pemain-pemain hebat, saat ini kita juga sudah sangat ketinggalan. Saat ini tak pernah lagi terdengar nama pemain Indonesia berkibar di kancah internasional. Tidak seperti dulu, siapa yang tak kenal Ramang, Iswadi Idris, Sinyo Aliandu, Sucipto Suntoro atau Suhatman Imam. Itu sebabnya, tim-tim dunia saat ini sudah sangat jarang mau beruji-coba ke Indonesia. Bandingkan dengan sekitar tahun 60 dan 70-an. Saat itu tim-tim besar seperti Lokomotiv Rusia, Red Start Belgrade Belgia, Midlesex Wanderer Inggris, Sao Paolo Brazil sempat berkunjung ke Indonesia bahkan sampai ke Padang. Tapi kini? Tak ada satu pun. Mungkin mereka juga berpikir bahwa tak ada manfaatnya bertanding dengan tim yang justru lebih terkenal dengan tradisi ributnya ketimbang prestasi yang mengkilap.

Benar bahwa kita masih sempat bangga dengan pernahnya Ricky Yacob atau Rochy Putirai main di Liga Jepang, atau Kurniawan dan Bima Sakti main di FC Lucerne Swiss. Namun saat ini kecuali Bambang Pamungkas dan Elly Aiboy yang main di Liga Malaysia, tak ada lagi pemain kita yang dianggap punya nama di tingkat yang lebih tinggi. Jelas telah terjadi degradasi kualitas pemain dan prestasi timnas sepakbola Indonesia. Dan ini jelas sangat memprihatinkan.

Lantas apa sebenarnya penyebab kemunduran prestasi sepakbola Indonesia itu? Kurangnya pembinaan atau perhatian? Rasanya tidak. Sebab selama ini pemerintah dan PSSI cukup komit melakukan pembinaan sepakbola. Tidak diputarnya kompetisi di tingkat nasional? Juga tidak. Terbukti, Liga Indonesia tetap berputar bahkan saat ini sudah yang ke sebelas. Lantas kenapa Indonesia tak mampu lagi melahirkan pemain-pemain hebat yang berujung pada tidak pernah terciptanya lagi tim Indonesia yang kuat? Lalu, kapan saatnya tema sentral ‘sepakbola Indonesia menuju pentas dunia’ itu akan pernah dicapai? Siapa atau apakah yang salah dalam hal ini?

Dominasi Pemain Asing

Salah satu alasan kemunduran prestasi sepakbola Indonesia menurut kami adalah karena PSSI terlalu membuka kran bagi pemain asing. Contoh terparah lihat saja di tahun 2005 ini, dimana untuk Divisi Utama tiap klub diizinkan memakai lima pemain asing, sedang divisi I tiga orang.

Sebenarnya, diizinkannya pemain asing di kompetisi sepakbola Indonesia lebih ditujukan untuk menambah gairah dan daya jual kompetisi di mata masyarakat dan sponsor. Juga diharapkan adanya trasformasi ilmu sepakbola bagi pemain kita dari para pemain asing itu. Sebab umumnya para pemain asing itu berasal dari negara yang telah lebih maju dan hebat sepakbolanya.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Daya jual kompetisi kita dari tahun ke tahun makin menurun. Sebagai contoh, dulu sponsor bertaraf internasional seperti Dunhill, Rebook dan Adidas mau jadi sponsor LI. Tapi kini hanya sponsor lokal seperti Djarum dan Dji Sam Soe yang mau. Bank Mandiri bahkan sudah lebih dulu mundur. Di tingkat remaja usia 18 dan 15 tahun juga begitu. Gaung nama Bogasari – sehingga nama kompetisinya identik dengan nama sponsornya yakni Liga Bogasari – kini tak terdengar lagi. Akibatnya nama kompetisi di tingkat remaja itu kini kembali pada nama dasarya yakni Piala Suratin dan Piala Haornas.

Dari sisi transformasi ilmu, kenyataannya terjadi juga tak seperti yang diharapkan. Penyebabnya, para pemain asing yang berlaga di Indonesia kualitasnya ternyata tak jauh beda dengan pemain kita. Kalau pun ada yang sedikit lebih baik, jumlahnya pun hanya sekitar 20 persen dari jumlah pemain asing yang sekarang main di Indonesia. Akibatnya, jangankan terjadi transformasi ilmu, justru sebaliknya pemain kita yang semakin tidak teruji. Sebab, saat mana porsi mereka untuk turun bertanding sudah habis diambil oleh para pemain asing yang jumlahnya sudah setengah dari pemain yang ada di setiap tim, pemain asing yang jadi lawan mereka pun tidak lebih baik dari mereka, Lantas transformasi ilmu apa yang akan mereka peroleh?

Yang lebih parah lagi, sekarang ini justru banyak terjadi pemain asing jadi pemicu keributan pada pertandingan. Dari banyak berita di koran maupun di televisi kita juga tahu bahwa pemain asing sangat sering membuat masalah di klub mereka. Baik itu soal perkelahian di lapangan atau juga masalah pribadi si pemain yang kadang sangat melecehkan pemain lokal. Dalam beberapa kasus, ada pula di antaranya yang melaporkan permasalahannya dengan klub Indonesia ke FIFA. Ini tentu mencoreng nama Indonesia di mata internasional. Akibatnya, jangankan akan ada perhatian tapi justru nama Indonesia makin tenggelam dalam perhitungan sepakbola dunia.

Solusi ke Depan

Dari kenyataan di atas, ada beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan sebagai solusi untuk pembangunan sepakbola Indonesia ke depan. Di antaranya ; Pertama : Cabut kembali izin bermain bagi pemain asing pada kompetisi di Indonesia. Sebab dengan ditiadakannya pemain asing, dengan sendirinya akan memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada pemain lokal untuk berkiprah. Dengan itu pula diharapkan kualitas pemain Indonesia akan lebih teruji. Sedang bagi klub, anggaran yang semula ditujukan untuk membayar pemain asing, mungkin bisa dipindahkan untuk membina pemain di tingkat yunior.

Sebab jelas tak ada jaminan atau garansi bahwa dengan memakai pemain asing tim itu pasti juara. Sejarah pun juga mencatat bahwa Persib Bandung pernah jadi juara LI I dengan tanpa pemain asing. Sebaliknya justru sejak pemain asing diizinkan bermain di Indonesia, sejak itu pula nyaris tak ada lagi pemain Indonesia yang mampu berkibar namanya di tingkat internasional. Dan dari hitungan prestasi timnas, justru Indonesia masih sempat merasakan gelar internasional, saat mana di Indonesia belum ada pemain asing. Sebagai contoh tahun 1984, saat mana tim Indonesia yang dilatih Bertje Matulapelwa sempat menjadi Empat Besar Asia di Asian Games.

Kedua : Kalau memang dianggap terlalu dini untuk melarang pemakaian pemain asing, mungkin sebaiknya jumlahnya dibatasi hanya dua orang saja di tiap klub. Namun bagi pemain asing yang diizinkan main di klub-klub Indonesia itu diharapkan punya track-record yang jelas dan harus bernaung pada agen pemain yang punya lisensi sesuai rekomendasi PSSI.

Ketiga : PSSI juga harus lebih tegas menetapkan peraturan bagi klub-klub anggotanya agar terus memutar kompetisi antar klub terutama di lingkungan Pengcab atau Pengda di seluruh Indonesia.

Keempat : Dalam rangka transformasi ilmu sepakbola, mungkin akan lebih baik kalau PSSI mengizinkan klub untuk memakai pelatih asing, atau dalam artian lain, PSSI bisa memfasilitasi didatangkannya pelatih asing bagi setiap yang berminat. Dengan pemakaian pelatih asing, dimana nanti asistennya adalah pelatih lokal, di sanalah akan terjadi transformasi ilmu sepakbola sebagaimana yang diharapkan. Selain itu sebagaimana juga di negara-negara sepakbola lainnya pemakaian pelatih asing justru akan lebih efektif dan berdaya guna ketimbang memakai pemain asing. Sebab untuk iven-iven internasional, setiap negara tetap tak boleh memakai pemain asing.

Kelima : PSSI ke depan harus lebih tegas dengan peraturan yang dibuat selain perlu melakukan pengawasan intern ke dalam tubuh pengurus PSSI sendiri terutama dalam hal terjadinya kolusi dan nepotisme antara klub dengan pengurus PSSI. Untuk itu ketegasan tentang tidak boleh adanya rangkap jabatan pengurus di klub dan PSSI perlu digaris-bawahi dan segera dilaksanakan.

Keenam : Dalam rangka memberi kesempatan yang sama pada semua anggota, PSSI hendaknya harus lebih adil dalam mengambil setiap keputusan dengan mempertimbangkan semua aspek yang ada. Misalnya, jangan mentang-mentang klub itu punya dana dan fasilitas lebih maka klub itu diberikan peluang dan fasilitas lebih dalam kompetisi. Contoh kasus Persiku Kudus di kompetisi Divisi II tahun 2005. Di mana sejak awal diputar sampai final dilangsungkan selalu menjadi tuan rumah. Ini jelas tidak adil dan tidak mendidik. PSSI pun di sini jangan bersikap mentang-mentang, sehingga apa pun saran dan masukan tidak digubris lagi.

Ketujuh : Meski diakui bahwa sponsor termasuk nafas kehidupan bagi sepakbola Indonesia, namun bukan berarti sponsor bisa menentukan semua kebijaksanaan persepakbolaan di Indonesia. Untuk itu dalam setiap melakukan ikatan kontrak dengan sponsor, hendaknya PSSI juga harus mendominasi terutama dalam masalah-masalah yang lebih bersifat tekhnis.

Harus diakui membina sepakbola sampai kepada menciptakan prestasi yang hebat memang tidak gampang. Tapi bukan berarti itu tidak bisa. Trio negara di Asia Timur seperti China, Jepang dan Korea yang telah sukses hingga ke Piala Dunia adalah contoh yang dapat dijadikan ukuran bahwa kita pun bisa untuk seperti mereka. Tinggal sekarang bagaimana kita mengambil sikap dan menentukan arah kebijakan yang benar dalam pembinaan ke depan. Beberapa saran di atas, mungkin bisa dijadikan masukan untuk pembangunan sepakbola Indonesia ke depan. Semoga. (Penulis adalah Ketua Umum PSP dan juga Wakil Walikota Padang)

BLI – Aturan Baru – Konsistensi

Oleh : Drs. H. Yusman Kasim*

Ada sejumlah ketentuan baru yang akan diterapkan Badan Liga Sepakbola Indonesia (BLI) untuk pelaksanaan kompetisi Divisi Utama dan Divisi I PSSI tahun 2006 nanti. Ketentuan yang disampaikan dalam rapat BLI dengan klub-klub Divisi I dan Divisi Utama PSSI itu meliputi aturan untuk pemain terutama pemain asing, pelatih, manajemen tim dan panitia pelaksana. Beberapa di antaranya sangat menarik untuk disimak dan dicermati.

Pertama soal pemain asing. Ada dua hal yang pantas dicermati dari sisi ini. Pertama tentang batas maksimal seorang pemain asing bermain di Indonesia yakni hanya lima tahun. Tegasnya, pemain asing yang masih boleh bermain di LI 2006 hanyalah pemain asing yang bermain masih di bawah lima tahun. Lebih dari itu maka pemain tersebut tidak diperbolehkan lagi main di Indonesia.

Soal kedua juga tentang pemain asing, meski ini dimunculkan para peserta rapat, yakni tentang batasan jumlah pemain asing di satu tim. Awalnya BLI menetapkan jumlahnya sama dengan LI 2005 yakni lima untuk klub Divisi Utama dan 3 untuk Divisi I. Namun usulan itu dibantah banyak klub, dan kebetulan dimotori oleh PSP Padang. Seperti kami sampaikan langsung, PSP minta agar pemain asing dilarang saja main di LI. Alasannya, tak ada manfaat yang bisa dipetik dari pemain asing yang ada karena umumnya kualitas mereka tak jauh beda dengan pemain lokal. Sebaliknya justru kehadiran pemain asing membuat pemain lokal menjadi tidak berkembang dan membawa pengaruh buruk bagi penciptaan pemain lokal yang bagus. Akibat paling buruk adalah tidak ada lagi pemain lokal Indonesia yang bagus. Ini jelas berbahaya bagi prestasi tim nasional Indonesia. Terbukti, saat ini tak ada lagi prestasi timnas yang bisa dibanggakan. Usulan PSP itu kemudian ditanggapi positif oleh hampir semua peserta rapat termasuk oleh klub-klub besar seperti PSM Makasar, PSMS Medan maupun Persebaya. Akibatnya, ketentuan jumlah pemain asing pada LI 2006 baik di Divisi Utama maupun Divisi I akan ditinjau kembali oleh BLI.

Penataran, Sertifikat, Konsistensi

Hal lain yang menjadi aturan baru dari BLI adalah soal keseragaman lisensi pelatih yang boleh memegang tim divisi utama dan divisi I. Ditegaskan, standar lisensi pelatih tim Divisi Utama adalah A-License, pelatih tim Divisi I B-License dan jika pelatih asing maka ia harus memiliki lisensi A-Pro. Meski ini sudah merupakan program ulangan – karena beberapa tahun lalu juga pernah diberlakukan meski tidak efektif – tapi hal ini agaknya pantas dicermati. Pasalnya, saat ini sejumlah tim divisi utama dan I ada yang ditangani pelatih berlisensi di bawah yang ditetapkan.

Hal menarik lain dari aturan baru BLI itu adalah soal Manajer dan Ketua Panitia Pelaksana pertandingan kandang tim Divisi Utama dan I. Ditegaskan bahwa yang berhak dan diizinkan untuk menjadi Manajer atau Ketua Panitia Pertandingan hanyalah orang-orang yang sudah punya sertifikat BLI. Untuk itu BLI merencanakan akan melaksanakan dua jenis penataran yakni penataran Manajemen Tim dan Penataran Panpel Pertandingan pada bulan November nanti.

Dari beberapa program atau aturan yang dibuat BLI di atas terkesan adanya niat untuk semakin meningkatkan mutu persepakbolaan Indonesia ke depan. Artinya, ke depan penanganan sesuatu bidang betul-betul dilaksanakan oleh ahlinya, atau minimal orang yang telah mendapat penataran sesuai bidangnya masing-masing. Harapan yang ditumpangkan di sini agaknya selain terdapat keseragaman atau standar yang sama dari masing-masing bidang, BLI pun selaku pelaksana kompetisi divisi utama dan I akan lebnih mudah melakukan kontrol dan menerapkan aturan lain yang berhubungan dengan bidang masing-masing. “Artinya, tiap-tiap bidang nantinya betul-betul akan profesional dengan bidangnya,” tambah Nirwan D. Bakrie Ketua BLI saat itu.

Namun sebagaimana lazim terjadi selama ini di persepakbolaan nasional, Nirwan agaknya juga harus tahu satu hal. Yaitu perlunya konsistensi dalam menegakkan aturan yang telah dibuat. Sebab sudah menjadi rahasia umum di kalangan persepakbolaan nasional bahwa yang paling konsisten di PSSI adalah ketidak-konsistenan PSSI dalam melaksanakan aturan yang telah dibuat. Tak heran bila tokoh sepakbola asal Medan, Julius Raja secara spontan dan tanpa segan-segan mengingatkan hal itu langsung pada saat rapat berlangsung.

“Sejak dulu saya tahu bahwa PSSI itu paling pintar membuat program dan peraturan. Tapi saya juga sangat tahu bahwa yang paling tidak konsisten dalam melaksanakan program dan peraturan dimaksud justru adalah PSSI sendiri,” tegas Raja.

Ya, pada akhirnya, apa pun dan berapa pun hebat dan bagusnya program PSSI, semuanya tetap tergantung kepada konsistensi PSSI dengan peraturan yang dibuat itu. Sebab jika tidak begitu, selain program bagus yang telah dibuat akan menjadi sia-sia, juga sepakbola Indonesia tidak akan pernah bisa lebih baik lagi. Apakah kita semua menginginkan hal itu? Tentu saja tidak kan?

(Penulis adalah Ketua Umum PSP Padang)

Kompetisi Antar Klub

Anggota PSP Padang

Tergantung Persepsi Klub tentang Administrasi

Oleh : N. Nofi Sastera

Media massa di Padang selama tiga hari terakhir menulis, kompetisi antar klub PSP Padang ditunda lagi. Sepintas, judul berita di atas mungkin terasa sarkastis terhadap lambannya pengurus PSP Padang menggelar iven yang menjadi dambaan setiap klub sepakbola di Padang Kota Tercinta Kujaga dan Kubela ini.

Sebagai seorang pengurus PSP Padang saya mungkin termasuk orang yang dapat menerima hal di atas sebagai sebuah kritikan, saran dan masukan. Itu pula sebabnya saya minta pada panitia pelaksana kompetisi tersebut untuk menerimanya sebagai suatu hal yang wajar dan lumrah. Sebab sebagai sebuah dambaan, pelaksanaan kompetisi jelas sangat diharapkan banyak orang. Karena itu pula mungkin banyak mempertanyakan kenapa kompetisi harus ditunda dari rencana pertengahan April, hingga pertengahan Mei nanti. Masalahnya sekarang, apakah benar keterlambatan ini hanya akibat dari kelalaian dan lemahnya panpel kompetisi PSP mengelola iven itu?

ØØØØØØ

Sebagai kompetisi pertama setelah hampir sepuluh tahun tak pernah digelar, tentu banyak hal yang harus menjadi perhatian pengurus PSP untuk menggelar kompetisi ini. Mulai dari sistem dan format kompetisi, pendataan klub peserta, perhitungan klub promosi dan degradasi serta banyak hal lainnya. Muaranya jelas menuju pada satu titik yakni terlaksananya kompetisi yang lebih tertata rapi lancar dan profesional. Dan yang juga penting adalahbagaimana agar kompetisi ini bisa berlangsung sampai selesai tanpa harus berhenti di tengah jalan!

Dengan pemikiran itu perubahan ditetapkanlah sistem dan format kompetisi lewat musyawarah dengan semua klub yang telah mendaftar pada tanggal 30 Maret lalu untuk klub lama dan 1 April dengan klub-klub baru. Sebagai konsekwensinya pembagian divisi klub-klub PSP yang dulunya mengenal istilah Divisi I, II dan III dinaikkan menjadi Divisi Utama, I dan II. Hal mendasar dari perubahan itu adalah terjadinya penggabungan klub-klub Divisi I dan II lama menjadi klub Divisi Utama. Klub Divisi III lama menjadi Divisi I dan klub-klub baru masuk ke Divisi II.

Selain itu, mengingat kompetisi tidak hanya bagian dari program kerja pengurus PSP tapi juga merupakan kebutuhan klub-klub maka ditetapkan bahwa klub juga harus membantu biaya kompetisi bagi seluruh klub serta tambahan biaya administrasi bagi klub-klub baru. Satu hal yang juga ditegaskan di musyawarah malan itu adalah persyaratan administrasi pendaftaran setiap klub harus telah lengkap maksimal sampai tanggal 10 April lalu.

Nah, pada persoalan kelengkapan administrasi inilah yang akhirnya jadi kendala utama keterlambatan pelaksanaan kompetisi ini. Banyak klub mungkin memandang ikut kompetisi sama dengan ikut turnamen-turnamen biasa dimana masalah pengesahan pemain bisa dilaksanakan hanya seiring pelaksanaan teknikal meeting. Terbukti banyak klub yang masih belum melengkapi data-data klub dan nama serta foto pemainnya selain sejumlah persyaratan lainnya. Bahkan yang lebih parah lagi ada klub yang hanya memberikan nama pengurus tanpa satupun mencantumkan nama dan foto pemainnya. Padahal batas akhir pendaftaran yang semula 10 April – namun karena adanya musibah gempa dan meletusnya gunung Talang – telah dimundurkan hingga tanggal 19 April. Alamak!

Sesungguhnya, inilah kunci masalah keterlambatan kompetisi itu. Persepsi ikut kompetisi sama dengan ikut turnamen ini jelas salah. Masalah administrasi bukanlah suatu hal yang begitu gampang. Banyak masalah bisa muncul jika kelengkapan administrasi klub dan pemain ini tak diselesaikan. Itu sebabnya masalah kelengkapan aministrasi menjadi titik yang sangat diperhatikan panitia pelaksana kompetisi ini. Sebab jika tidak begitu, bisa-bisa kompetisi nanti hanya akan mengurus protes demi protes soal keabsahan pemain atau pun mungkin nama dan status klub bersangkutan. Jika itu yang terjadi, jangan salahkan jika kompetisi nanti akan terhenti di tengah jalan. Kalau begini terus kejadiannya – karena sekitar sepuluh tahun lalu kompetisi juga terhenti – kapan PSP akan bisa maju. Sedang kompetisi adalah wadah paling potensial guna menopang prestasi. Sebab jika tak ada kompetisi, dimana bisa dilihat pemain-pemain bagus yang bisa menopang masa depan prestasi PSP.

Untuk itulah lewat tulisan ini saya juga menghimbau kepada semua klub yang telah terdaftar sampai 19 Apri lalu yakni 11 klub divisi utama, 11 klub divisi I dan 14 klub divisi untuk segera melengkapi persyaratan administasi klubnya. Sebab jika tidak begitu jangan salahkan jika panitia pelaksana terpaksa harus lebih keras lagi. “Ya, kita bisa saja membatalkan keikut-sertaannya meski pun klub itu telah membayar biaya kompetisi atau pun administrasi. Untuk itu kita berikan waktu paling lambat hingga 30 April. Sebab kita sudah menjadualkan tanggal 5 Mei untuk teknikal meeting dan 10 Mei kompetisi digelar,” ujar Drs. Arsil Wakil Ketua Panitia.

Nah! Dengan penegasan seperti itu, masihkan klub akan berleha-leha dengan masalah admnistrasi klubnya? Tentunya tergantung dari klub itu sendiri. Kalau memang mau ikut kompetisi, ya lengkapilah persyaratan administrasi yang ditetapkan menjelang 30 April ini. Kalau tidak, apa boleh buat, klub Anda mungkin akan dicoret!


Acungan Jempol buat PSP Padang

(Sebuah Ucapan Selamat untuk Pengurus PSP Periode 2004-2008)

Oleh : YULINUR SADAR

Dilihat kelas kompetisi yang bakal diikutinya tahun depan, PSP Padang memang baru akan melangkah ke Divisi I PSSI. Tapi jika dirunut bahwa apa yang dilakukan pengurus baru PSP Padang periode 2004-2008 itu hanya merupakan hasil dalam masa satu tahun dua bulan setelah sebelumnya berada di divisi III (dulu namanya divisi II – Pen), hal itu jelas merupakan prestasi yang luar biasa.

Catat pula bahwa selama berlangsungnya kompetisi Divisi II Nasional tersebut, tim PSP Padang hanya sekali mengalami kekalahan, yakni pada Babak Delapan Besar Grup C di Kudus setelah ‘dikalahkan’ tuan rumah Persiku 4-0. Sebelumnya di Babak Penyisihan Wilayah I, PSP bahkan sempat mencatat prestasi sempurna yakni menang di lima pertandingan yang berlangsung di Padang Sidempuan dengan mengalahkan Persijam Jambi 4-1, PS. Bengkulu 2-0, PS. Medan Jaya 2-1, Persikomet Metro Lampung 8-1 serta tuan rumah PSKPS Padang Sidempuan 1-0.

Tak hanya itu, sejumlah prestasi lain, juga dalam masa setahun dua bulan itu juga berhasil dicatat kepengurusan PSP yang dipimpin Drs. H.Yusman Kasim, yang Wakil Walikota Padang. Satu yang paling berdampak positif bagi hidupnya dunia sepakbola di kota Padang adalah diputarnya kembali kompetisi antar klub di lingkungan PSP Padang. Soalnya kompetisi yang diikuti 40 klub – terdiri dari 12 divisi utama, 14 divisi I dan 14 divisi II – itu dilakukan setelah hampir sebelas tahun PSP tidak pernah lagi memutar roda kompetisi antar klubnya.

Adakah prestasi demi prestasi itu membuat pengurus PSP merasa sombong dan lupa diri? “Ndaklah. Saya rasanya itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Kita masih merangkak dan belum jalan secara sempurna,” ujar Yusman Kasim merendah.

Menurut Yusman, semua yang dilakukan pengurus PSP yang dipimpinnya hanya merupakan kewajiban dan tanggung-jawab sebagai orang yang dipercaya oleh masyarakat pencinta sepakbola di Kota Tercinta ini. Karena itu menurutnya tak ada yang harus disombongkan dengan berbagai prestasi yang ditorehkan pengurus PSP periode 2004-2008 itu.

Yusman Kasim seperti juga Sekretaris Umum PSP N. Nofi Sastera boleh saja merendah. Namun dari catatan prestasi yang ada (lihat tabel), apa yang dilakukan pengurus PSP periode sekarang sempat mendapat acungan jempol dari masyarakat pencinta sepakbola di kota Padang maupun di perantauan.

“Rasanya saya kembali bisa menghadap penonton sepakbola di daerah lain dengan kepala tegak setelah melihat prestasi PSP sekarang. Memang mereka belum di divisi utama. Tapi sebagai juara ketiga pada kompetisi divisi II nasional saya rasa itu sudah membanggakan. Terutama bagi kami para perantau, keberhasilan PSP di daerah perantauan kami ini jelas sangat membanggakan. Paling tidak teman-teman di kantor juga tidak bisa melecehkan Padang. Bagaimana pun PSP kan otomatis membawa nama Padang secara keseluruhan,” ujar Kapten.Pol. M. Rifki, anak Purus Kebun yang menjadi Kasat Lantas di Polres Kudus, usai tim PSP merebut gelar juara ketiga kompetisi divisi II nasional di kota kretek itu.

“Saya melihat sepakbola di kota Padang kembali bergairah saat ini. Selain bisa berprestasi di tingkat nasional, diputarnya kembali kompetisi antar klub PSP jelas merupakan prestasi yang sangat bagus. Soalnya memang inilah sebenarnya yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh pencinta sepakbola di Padang ini. Sebab dengan diputarnya kompetisi terasa sekali sepakbola kota Padang bergairah kembali. Jujur saja, saya salut dengan kepengurusan PSP sekarang ini,” ujar M. Ridwan, seorang pencinta bola yang ditemui di lapangan PJKA Simpang Haru, saat berlangsungnya salah satu pertandingan dalam kompetisi divisi I PSP Sabtu pekan lalu.

Pertahankan Konsistensinya

Namun di balik pujian yang datang pada pengurus PSP Padang juga terdapat harapan. Yang paling utama tentu saja agar pengurus PSP bisa mempertahankan konsistensinya pembinaan dan pencapaian prestasi sepakbola di kota Padang. “Sebab jangan hanya mentang-mentang masih hangat sebagai pengurus baru. Setelah berjalan dua tiga tahun, pengurus menjadi lalai dan lupa dengan tanggung-jawabnya sebagai pembina dan pencapai prestasi sepakbola di kota ini,” tambah Asrul, seorang pencinta PSP lainnya dari Belimbing.

Menjawab hal itu baik Ketua Umum PSP Yusman Kasim, Ketua Harian H. Syarifuddin, SH dan Sekum N. Nofi Sastera berjanji hal itu akan diusahakan semaksimal mungkin.

“Insya Allah kita akan konsisten dengan apa yang kita lakukan sekarang. Memang hal ini tidak gampang karena butuh dukungan dari banyak pihak termasuk Pemda kota dan Pemda provinsi maupun kalangan dunia usaha lainnya. Tapi jika kita bisa terus bersama-sama, saya yakin tak ada ada yang berat untuk kita kerjakan,” ujar Yusman.

Berat yang dimaksud Yusman Kasim tentu saja adalah soal dana. Sebab jika tidak didukung pendanaan yang kuat dan stabil, tentu saja langkah PSP akan kembali terseok-seok. Hal itu telah terbukti beberapa tahun sebelumnya, dimana PSP yang sempat lima tahun bercokol di divisi utama (1996-2001), tiba-tiba harus jatuh bahkan ke divisi III.

Untuk itu pula Yusman mengajak semua elemen yang berkompeten mulai dari pemerintah daerah, kalangan dunia usaha dan masyarakat pencinta sepakbola untuk bersama-sama mendukung langkah PSP Padang. Selain itu ia juga meminta kepada semua insan sepakbola di kota Padang untuk tetap bersama-sama satu hati dan satu tekad agar PSP terus berjaya di tahun-tahun mendatang.

“Jujur saja masih banyak kekurangan yang kami lakukan dalam pelaksanaan program kerja yang telah kita susun melalui pleno pengurus itu. Untuk itu silahkan memberi masukan, asal sifatnya konstruktif dan membangun. Bagaimana pun kami sadar bahwa hebat dan jayanya PSP bukanlah semata-mata karena hebatnya pengurus PSP, tapi justru oleh dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat di kota ini,” tegas Yusman. (Yulinur Sadar)

Catatan Akhir Tahun 2003

PSP telah Mati!

Oleh : N. Nofi Sastera

Apa komentar Anda dengan judul di atas? Beragam? Pasti! Menganggap saya terlalu sarkastis, mungkin? Atau mungkin membenarkan bahwa PSP memang telah mati?

Seperti halnya Anda, komentar saya (dalam hati) juga beragam ketika seorang teman yang tahu saya pernah jadi Sekretaris Tim PSP di Kompetisi Liga Indonesia Divisi Utama mengatakan kalimat itu pada saya. Saya sendiri bahkan sempat mengulang-ulang kalimat itu dalam hati. Apa memang PSP sudah mati?

Jika jujur, keadaan PSP Padang sekarang memang mendekati kondisi sesuai arti kata ‘mati’ itu. Nyaris tak pernah lagi terdengar kegiatan PSP Padang. Terakhir, paling sekitar Agustus-September 2003 lalu saat ikut Kompetisi Suratin Cup tingkat nasional wilayah I di Medan. Di kompetisi yang mungkin di olahraga tinju diistilahkan sebagai mandatory fight (pertandingan wajib) nama besar PSP diwakilkan sepenuhnya kepada manajemen yang umumnya diisi pengurus klub PSTS Tabing. Lalu kenapa saya mesti menggunakan kata-kata diwakilkan sepenuhnya? Karena sebagaimana saya rasakan sendiri - saat itu saya juga jadi Sekretaris Tim - tak ada satupun bantuan dari pengurus PSP untuk tim PSP Yunior saat itu. (Untung saja Plt. Walikota Padang Drs. H.O.S. Yerli Asir turun tangan membantu dana dan bahkan menemani tim ke Medan).

Di bagian lain, kompetisi antar klub di lingkungan PSP juga tak pernah lagi digelar sejak empat atau lima tahun terakhir, meski semua tahu bahwa kompetisi adalah wadah mencari bibit-bibit pesepakbola terbaik. Lihat pula kepengurusan PSP Padang yang sudah berakhir masa baktinya. Selain Ketua Umum Zuiyen Rais dan Wakil Sekretaris Drs. Syahridal, nama-nama lain nyaris tak terdengar lagi aktivitasnya untuk PSP. Benar bahwa tahun 2002 lalu khabarnya mantan Dandim 0312 Padang Syaiful Bahri sempat ditunjuk jadi Ketua Harian PSP. Tapi, kini Beliau juga sudah pindah.

Praktis PSP saat ini ibarat kata pepatah bagai ‘karakok tumbuah di batu, hidup segan mati tak mau’. Sejak PSP tercampak ke Divisi I tahun 2000 dan kemudian tercampak lagi ke Divisi II sejak tahun 2001, nasib PSP nyaris tak terurus lagi. Kalau pun ada kegiatan yang harus diikuti seperti Kompetisi Suratin dll, pengurus PSP cendrung main aman dan menunjuk siapa yang berminat jadi manajer untuk bertanggung-jawab penuh dalam segala hal termasuk dana. Itu pula sebabnya jika kemudian tim gagal, pengurus PSP juga tak pernah mau meminta pertanggung-jawaban kepada manajemen yang telah ditunjuk tadi. Sebab ya boro-boro mau minta tanggung-jawab, sementara pengurus PSP sendiri nyaris tak punya tanggung-jawab. Kejadian yang dialami manajemen tim PSP Yunior 2002 (saat itu diwakili PS. Cahaya Baru) dan 2003 (PSTS Tabing) adalah contoh nyata untuk itu. Lantas, pertanyaannya sekarang adalah akan dibiarkankah PSP Padang mati?

Pengurus Baru

Jalan terbaik mengatasi persoalan PSP adalah bentuk pengurus baru, misalnya lewat Musda. Sebab lewat kepengurusan yang definitif dan segar dapat dilakukan berbagai perbaikan guna membangun sepakbola Padang ke arah yang lebih baik. Sehingga keadaan PSP yang kini colaps bisa berangsur pulih sebagaimana yang diharapkan.

Benar bahwa untuk mencari figur yang cocok dan pantas serta mau mengurus PSP Padang tak gampang. Sebab selain masih banyak orang yang trauma dengan kondisi PSP selama beberapa tahun terakhir, pengurus baru PSP nanti haruslah diisi oleh orang-orang yang mengerti bola, gila bola serta inovatif dan kreatif. Hal mana menurut saya itu bukanlah kendala utama. Sebab saya punya keyakinan masih banyak pejabat atau tokoh masyarakat kota Padang yang mau mengurus PSP.

Sebagai contoh, Plt. Walikota Padang Drs. H. O.S Yerli Asir, menurut saya sangat pas untuk menduduki jabatan Ketua Umum PSP yang baru. Bukan hanya karena jabatan ex officio-nya sebagai Plt. Wako, tapi karena Pak Adek, begitu sapaan akrabnya memang dikenal sebagai orang olahraga. Lihat saja, di sela-sela aktivitas beliau yang seabrek (sebagai Plt. Wako dan Kepala Bawasda Sumbar), Pak Adek justru sering terlihat di beberapa venues olahraga. Itu karena Beliau juga Wakil Sekretaris KONI Sumbar disamping Ketua Harian FORKI Sumbar. Lihat pula kesediaan Beliau ketika ikut mendampingi tim PSP Yunior bertanding di Medan beberapa waktu lalu. Apakah ini belum merupakan garansi untuk memilih Beliau sebagai Ketua Umum PSP?

Pengurus lain? Saya rasa tidak terlalu sulit. Jika memang disepakati Pak Adek yang akan jadi Ketua Umum PSP, saya rasa mencari pengurus lain yang akan membantu Beliau juga tidaklah sulit. Sebab, selain sudah dikenal makan tangannya di olahraga, Pak Adek sendiri juga punya lobby yang bagus selain punya koneksi yang banyak. Jadi apalah sulitnya bagi Beliau untuk mencari orang yang mau membantunya mengurus PSP. Begitu juga soal dana? Selain bisa dicarikan bersama oleh pengurus nantinya, Pak Adek sendiri selama ini punya banyak kiat dan keberanian yang positif untuk menyiasati ini. Lihat saja jalan Tabing Duku yang pembangunannya diprakarsai oleh Pak Adek, meski secara prinsip, ia hanya seorang Pelaksana Tugas dari Pejabat Walikota Padang, dan bukan Pejabat Definitif.

Jika sudah begitu, tunggu apa lagi untuk mengadakan Musda PSP? Sebab kita semua juga sudah merasa gerah dengan kondisi PSP sekarang. Lalu, masihkah kita punya kepedulian terhadap PSP. Atau memang kita semua sepakat untuk membiarkan PSP mati? Jika begitu, marilah kita bersama-sama mengucapkan, “Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun.” (Dimuat di Harian Pos Metro Padang - Akhir Desember 2003)

Tim PSP Sebelum Menghadapi PS Medan Jaya di Stadion Teladan Medan tahun 2007