12 Mei 2008

Tinjau Ulang Izin Pemain Asing di Indonesia

Sebuah Solusi Pembangunan

Sepakbola Indonesia ke Depan

Oleh : Drs. H. Yusman Kasim

Pembangunan sepakbola Indonesia pada dasarnya bermuara kepada terciptanya prestasi tim sepakbola Indonesia yang bisa dibanggakan ke tingkat internasional. Untuk itu PSSI sebagai induk cabang sepakbola di Indonesia sudah berusaha melaksanakan berbagai usaha guna mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan sepakbola Indonesia itu. Tapi sejauh ini, apa yang diharapkan masih jauh dari harapan.

Tidak seperti beberapa negara Asia lain semisal Jepang, Korea dan China, sepakbola Indonesia jangankan berpikir ikut Piala Dunia, untuk juara Asia, bahkan Asean pun sulit. Terbukti, selama dua dasawarsa terakhir nama Indonesia tak pernah lagi berkibar di Asia. Di Asia Tenggara, kita juga sudah sering kalah oleh negara-negara kecil seperti Singapura, Myanmar bahkan Vietnam.

Padahal kita tahu, titik mulai pembangunan sepakbola kita, tak jauh beda dengan Jepang, Korea atau China. Bahkan bila dibanding Myanmar atau pun Vietnam, kita malah jauh lebih dahulu lagi. Tapi kenyataan sekarang, prestasi kita jauh tertinggal dari Jepang, Korea dan China. Bahkan di beberapa iven tingkat Asean seperti SEA Games atau Piala Tiger, kita justru sudah sering dikalahkan negara kecil seperti Singapura, Myanmar dan Vietnam.

Dari sisi penciptaan pemain-pemain hebat, saat ini kita juga sudah sangat ketinggalan. Saat ini tak pernah lagi terdengar nama pemain Indonesia berkibar di kancah internasional. Tidak seperti dulu, siapa yang tak kenal Ramang, Iswadi Idris, Sinyo Aliandu, Sucipto Suntoro atau Suhatman Imam. Itu sebabnya, tim-tim dunia saat ini sudah sangat jarang mau beruji-coba ke Indonesia. Bandingkan dengan sekitar tahun 60 dan 70-an. Saat itu tim-tim besar seperti Lokomotiv Rusia, Red Start Belgrade Belgia, Midlesex Wanderer Inggris, Sao Paolo Brazil sempat berkunjung ke Indonesia bahkan sampai ke Padang. Tapi kini? Tak ada satu pun. Mungkin mereka juga berpikir bahwa tak ada manfaatnya bertanding dengan tim yang justru lebih terkenal dengan tradisi ributnya ketimbang prestasi yang mengkilap.

Benar bahwa kita masih sempat bangga dengan pernahnya Ricky Yacob atau Rochy Putirai main di Liga Jepang, atau Kurniawan dan Bima Sakti main di FC Lucerne Swiss. Namun saat ini kecuali Bambang Pamungkas dan Elly Aiboy yang main di Liga Malaysia, tak ada lagi pemain kita yang dianggap punya nama di tingkat yang lebih tinggi. Jelas telah terjadi degradasi kualitas pemain dan prestasi timnas sepakbola Indonesia. Dan ini jelas sangat memprihatinkan.

Lantas apa sebenarnya penyebab kemunduran prestasi sepakbola Indonesia itu? Kurangnya pembinaan atau perhatian? Rasanya tidak. Sebab selama ini pemerintah dan PSSI cukup komit melakukan pembinaan sepakbola. Tidak diputarnya kompetisi di tingkat nasional? Juga tidak. Terbukti, Liga Indonesia tetap berputar bahkan saat ini sudah yang ke sebelas. Lantas kenapa Indonesia tak mampu lagi melahirkan pemain-pemain hebat yang berujung pada tidak pernah terciptanya lagi tim Indonesia yang kuat? Lalu, kapan saatnya tema sentral ‘sepakbola Indonesia menuju pentas dunia’ itu akan pernah dicapai? Siapa atau apakah yang salah dalam hal ini?

Dominasi Pemain Asing

Salah satu alasan kemunduran prestasi sepakbola Indonesia menurut kami adalah karena PSSI terlalu membuka kran bagi pemain asing. Contoh terparah lihat saja di tahun 2005 ini, dimana untuk Divisi Utama tiap klub diizinkan memakai lima pemain asing, sedang divisi I tiga orang.

Sebenarnya, diizinkannya pemain asing di kompetisi sepakbola Indonesia lebih ditujukan untuk menambah gairah dan daya jual kompetisi di mata masyarakat dan sponsor. Juga diharapkan adanya trasformasi ilmu sepakbola bagi pemain kita dari para pemain asing itu. Sebab umumnya para pemain asing itu berasal dari negara yang telah lebih maju dan hebat sepakbolanya.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Daya jual kompetisi kita dari tahun ke tahun makin menurun. Sebagai contoh, dulu sponsor bertaraf internasional seperti Dunhill, Rebook dan Adidas mau jadi sponsor LI. Tapi kini hanya sponsor lokal seperti Djarum dan Dji Sam Soe yang mau. Bank Mandiri bahkan sudah lebih dulu mundur. Di tingkat remaja usia 18 dan 15 tahun juga begitu. Gaung nama Bogasari – sehingga nama kompetisinya identik dengan nama sponsornya yakni Liga Bogasari – kini tak terdengar lagi. Akibatnya nama kompetisi di tingkat remaja itu kini kembali pada nama dasarya yakni Piala Suratin dan Piala Haornas.

Dari sisi transformasi ilmu, kenyataannya terjadi juga tak seperti yang diharapkan. Penyebabnya, para pemain asing yang berlaga di Indonesia kualitasnya ternyata tak jauh beda dengan pemain kita. Kalau pun ada yang sedikit lebih baik, jumlahnya pun hanya sekitar 20 persen dari jumlah pemain asing yang sekarang main di Indonesia. Akibatnya, jangankan terjadi transformasi ilmu, justru sebaliknya pemain kita yang semakin tidak teruji. Sebab, saat mana porsi mereka untuk turun bertanding sudah habis diambil oleh para pemain asing yang jumlahnya sudah setengah dari pemain yang ada di setiap tim, pemain asing yang jadi lawan mereka pun tidak lebih baik dari mereka, Lantas transformasi ilmu apa yang akan mereka peroleh?

Yang lebih parah lagi, sekarang ini justru banyak terjadi pemain asing jadi pemicu keributan pada pertandingan. Dari banyak berita di koran maupun di televisi kita juga tahu bahwa pemain asing sangat sering membuat masalah di klub mereka. Baik itu soal perkelahian di lapangan atau juga masalah pribadi si pemain yang kadang sangat melecehkan pemain lokal. Dalam beberapa kasus, ada pula di antaranya yang melaporkan permasalahannya dengan klub Indonesia ke FIFA. Ini tentu mencoreng nama Indonesia di mata internasional. Akibatnya, jangankan akan ada perhatian tapi justru nama Indonesia makin tenggelam dalam perhitungan sepakbola dunia.

Solusi ke Depan

Dari kenyataan di atas, ada beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan sebagai solusi untuk pembangunan sepakbola Indonesia ke depan. Di antaranya ; Pertama : Cabut kembali izin bermain bagi pemain asing pada kompetisi di Indonesia. Sebab dengan ditiadakannya pemain asing, dengan sendirinya akan memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada pemain lokal untuk berkiprah. Dengan itu pula diharapkan kualitas pemain Indonesia akan lebih teruji. Sedang bagi klub, anggaran yang semula ditujukan untuk membayar pemain asing, mungkin bisa dipindahkan untuk membina pemain di tingkat yunior.

Sebab jelas tak ada jaminan atau garansi bahwa dengan memakai pemain asing tim itu pasti juara. Sejarah pun juga mencatat bahwa Persib Bandung pernah jadi juara LI I dengan tanpa pemain asing. Sebaliknya justru sejak pemain asing diizinkan bermain di Indonesia, sejak itu pula nyaris tak ada lagi pemain Indonesia yang mampu berkibar namanya di tingkat internasional. Dan dari hitungan prestasi timnas, justru Indonesia masih sempat merasakan gelar internasional, saat mana di Indonesia belum ada pemain asing. Sebagai contoh tahun 1984, saat mana tim Indonesia yang dilatih Bertje Matulapelwa sempat menjadi Empat Besar Asia di Asian Games.

Kedua : Kalau memang dianggap terlalu dini untuk melarang pemakaian pemain asing, mungkin sebaiknya jumlahnya dibatasi hanya dua orang saja di tiap klub. Namun bagi pemain asing yang diizinkan main di klub-klub Indonesia itu diharapkan punya track-record yang jelas dan harus bernaung pada agen pemain yang punya lisensi sesuai rekomendasi PSSI.

Ketiga : PSSI juga harus lebih tegas menetapkan peraturan bagi klub-klub anggotanya agar terus memutar kompetisi antar klub terutama di lingkungan Pengcab atau Pengda di seluruh Indonesia.

Keempat : Dalam rangka transformasi ilmu sepakbola, mungkin akan lebih baik kalau PSSI mengizinkan klub untuk memakai pelatih asing, atau dalam artian lain, PSSI bisa memfasilitasi didatangkannya pelatih asing bagi setiap yang berminat. Dengan pemakaian pelatih asing, dimana nanti asistennya adalah pelatih lokal, di sanalah akan terjadi transformasi ilmu sepakbola sebagaimana yang diharapkan. Selain itu sebagaimana juga di negara-negara sepakbola lainnya pemakaian pelatih asing justru akan lebih efektif dan berdaya guna ketimbang memakai pemain asing. Sebab untuk iven-iven internasional, setiap negara tetap tak boleh memakai pemain asing.

Kelima : PSSI ke depan harus lebih tegas dengan peraturan yang dibuat selain perlu melakukan pengawasan intern ke dalam tubuh pengurus PSSI sendiri terutama dalam hal terjadinya kolusi dan nepotisme antara klub dengan pengurus PSSI. Untuk itu ketegasan tentang tidak boleh adanya rangkap jabatan pengurus di klub dan PSSI perlu digaris-bawahi dan segera dilaksanakan.

Keenam : Dalam rangka memberi kesempatan yang sama pada semua anggota, PSSI hendaknya harus lebih adil dalam mengambil setiap keputusan dengan mempertimbangkan semua aspek yang ada. Misalnya, jangan mentang-mentang klub itu punya dana dan fasilitas lebih maka klub itu diberikan peluang dan fasilitas lebih dalam kompetisi. Contoh kasus Persiku Kudus di kompetisi Divisi II tahun 2005. Di mana sejak awal diputar sampai final dilangsungkan selalu menjadi tuan rumah. Ini jelas tidak adil dan tidak mendidik. PSSI pun di sini jangan bersikap mentang-mentang, sehingga apa pun saran dan masukan tidak digubris lagi.

Ketujuh : Meski diakui bahwa sponsor termasuk nafas kehidupan bagi sepakbola Indonesia, namun bukan berarti sponsor bisa menentukan semua kebijaksanaan persepakbolaan di Indonesia. Untuk itu dalam setiap melakukan ikatan kontrak dengan sponsor, hendaknya PSSI juga harus mendominasi terutama dalam masalah-masalah yang lebih bersifat tekhnis.

Harus diakui membina sepakbola sampai kepada menciptakan prestasi yang hebat memang tidak gampang. Tapi bukan berarti itu tidak bisa. Trio negara di Asia Timur seperti China, Jepang dan Korea yang telah sukses hingga ke Piala Dunia adalah contoh yang dapat dijadikan ukuran bahwa kita pun bisa untuk seperti mereka. Tinggal sekarang bagaimana kita mengambil sikap dan menentukan arah kebijakan yang benar dalam pembinaan ke depan. Beberapa saran di atas, mungkin bisa dijadikan masukan untuk pembangunan sepakbola Indonesia ke depan. Semoga. (Penulis adalah Ketua Umum PSP dan juga Wakil Walikota Padang)

Tidak ada komentar: